Demonstrasi Tak Terduga di Israel.. Akankah Mengubah Arah Perang di Gaza?

Table of Contents

Demo besar di israel
18/8/2025 - Seiring dengan meluasnya operasi militer Israel di Jalur Gaza, dan persiapan menuju tahap yang digambarkan sebagai “paling brutal”, lebih dari satu juta demonstran turun ke jalan menolak kelanjutan perang serta menuntut pembebasan para tawanan.

Sebuah pemandangan domestik yang belum pernah terjadi sebelumnya, menempatkan pemerintahan Benjamin Netanyahu dalam tekanan internal yang semakin besar, di saat ia berusaha mempertahankan formula militer dan politik yang berbasis pada kontrol keamanan dan agenda sayap kanan ekstrem.

Dalam pembacaan awal, tampaknya motivasi gerakan protes Israel tidak berasal dari dimensi kemanusiaan atau simpati terhadap Gaza, melainkan dari keyakinan bahwa perang telah kehilangan manfaatnya dan tidak lagi menghasilkan keuntungan strategis maupun politik.

Akademisi spesialis urusan Israel, Muhannad Mustafa, menegaskan bahwa meluasnya demonstrasi hingga mencakup kalangan kelas menengah, lingkaran akademik, dan sektor jasa, adalah sebuah perubahan besar.

Untuk pertama kalinya para demonstran mengangkat slogan “Hentikan Perang” secara terbuka, hal yang sangat mengganggu pemerintah Israel. Namun, pemerintah memperlakukan protes ini sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.

Netanyahu menilai bahwa seruan untuk mengakhiri perang hanya akan mendorong Hamas dan menjauhkan upaya pembebasan tawanan. Sedangkan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich bahkan menyebut demonstrasi itu sebagai “kampanye jahat” yang mendorong Israel menuju penyerahan diri.

Kekhawatiran Nyata

Menurut Mustafa, retorika yang tegang ini mencerminkan kekhawatiran nyata bahwa jika gerakan meluas hingga mencakup serikat dagang besar seperti Histadrut, maka bisa menyebabkan kelumpuhan ekonomi, sehingga menjadikan kelanjutan perang sebagai pilihan yang terlalu mahal untuk ditanggung pemerintah.

Dalam konteks lain, peneliti urusan internasional Hossam Shaker menilai bahwa fenomena ini tidak bisa dipisahkan dari dukungan Amerika Serikat, yang memberikan Israel ruang lebar untuk melanjutkan apa yang ia sebut sebagai “kampanye genosida dan pembersihan etnis”.

Shaker menambahkan, pemerintahan AS justru sibuk berbicara tentang bantuan kemanusiaan untuk menutupi kenyataan pembantaian dan kelaparan, sementara operasi militer Israel terus berlangsung dengan senjata dan dukungan logistik Amerika, serta dengan sepengetahuan Washington sejak awal.

Dari sudut pandang ini, negosiasi hanyalah selubung untuk mengurangi tekanan internasional, sementara operasi militer dipakai sebagai alat untuk memaksakan pengusiran warga Palestina dan menciptakan realitas demografis baru di Gaza.

Posisi Amerika

Thomas Warrick, mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS, menjelaskan bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump tidak menempatkan perang Gaza sebagai prioritas dibandingkan isu Ukraina. Namun di saat yang sama, mereka melihat opsi militer sebagai satu-satunya jalan untuk membebaskan para tawanan.

Meski organisasi internasional mengkritik jatuhnya puluhan ribu korban sipil, Warrick berpendapat bahwa Washington tidak akan membatasi operasi militer Israel, melainkan hanya berfokus pada peningkatan bantuan kemanusiaan.

Menurut Shaker, sikap ini adalah resep sempurna untuk memperpanjang penderitaan, sekaligus menyalahkan korban atas kelanjutan tragedi tersebut.

Musuh Eksistensial

Mustafa menegaskan, cara berpikir Israel dalam perang kali ini tidak lagi bersifat strategis yang mencari penyelesaian politik sebagaimana di masa lalu, melainkan ideologis-ekstrem, yang memandang bangsa Palestina sebagai “musuh eksistensial” yang harus dihapus sepenuhnya.

Syarat-syarat yang diajukan pemerintahan Netanyahu — pelucutan senjata Gaza, kontrol keamanan permanen, dan penolakan terhadap pemerintahan Palestina mana pun — hanyalah resep bagi kegagalan setiap negosiasi di masa depan.

Pendekatan seperti ini belum pernah ada dalam sejarah pengelolaan konflik: keberhasilan negosiasi dipahami sebagai penghapusan total pihak lawan, sementara kegagalan berarti tekad pihak lawan untuk tetap bertahan.

Tekanan Internal vs. Dukungan AS

Dalam kondisi ini, menurut para analis, Israel terjebak di antara tekanan internal yang terus membesar, retorika keamanan yang kaku, serta dukungan AS yang bersyarat pada aspek kemanusiaan.

Jika Netanyahu berusaha menggambarkan demonstrasi sebagai “layanan untuk Hamas”, maka meluasnya protes ke sektor ekonomi dan sosial yang lebih luas bisa memaksanya meninjau ulang perhitungan. Sebab semakin tinggi biaya perang baik secara manusia maupun ekonomi, semakin sulit mempertahankannya tanpa menghadapi ledakan internal yang sulit dikendalikan.

Walau gerakan rakyat Israel ini belum sampai pada level yang mampu memaksakan perubahan radikal dalam arah perang, kemunculannya dalam skala besar di tengah operasi militer sudah merupakan preseden historis. Hal ini bisa membuka kemungkinan bahwa untuk pertama kalinya faktor domestik Israel menjadi tekanan nyata yang tidak bisa lagi diabaikan Netanyahuز

Sumber: Al Jazeera

Posting Komentar