Rekonstruksi Gaza, serta Keamanan Nasional Mesir dan Yordania

Ahmad Al Hilah, Penulis Palestina
Rekonstruksi Gaza,
serta Keamanan Nasional Mesir dan Yordania
Oleh: Ahmad Al-Hilah
Presiden Donald Trump telah mengungkapkan visinya untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh pendudukan Israel di Jalur Gaza, yaitu dengan mendorong pengusiran warga Palestina—sekitar 2,25 juta orang atau sebagian besar dari mereka—ke Yordania, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya. Tujuan dari langkah ini adalah menampung mereka dan menyediakan kebutuhan hidup sebagai langkah yang bisa bersifat "jangka panjang." Trump menegaskan bahwa ia telah menghubungi Raja Yordania Abdullah II dan berencana menghubungi Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, yang kemudian telah ia lakukan.
Ancaman dari Sikap
Trump
Yang membuat posisi ini berbahaya adalah karena pernyataan tersebut datang dari presiden negara adidaya yang sangat berpengaruh dalam politik dunia dan Timur Tengah. Amerika Serikat mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menghormati kehendak rakyat, sekaligus memposisikan diri sebagai "polisi" yang melindungi hukum internasional serta perdamaian dan keamanan global!
Sikap Trump ini sejalan dengan pandangan sayap kanan ekstrem Zionis di Israel, yang secara terang-terangan didukung oleh Menteri Keamanan Nasional yang mengundurkan diri, Itamar Ben-Gvir, serta Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Smotrich bahkan menyambut baik ide Trump dan menganggapnya sebagai pemikiran "di luar kotak" yang harus segera diterapkan bersama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Dampak dan Ancaman dari Rencana Trump
Ajakan Trump untuk mengusir warga Palestina dari Gaza memiliki konsekuensi moral dan politik yang sangat berbahaya, antara lain:
1. Pembersihan Etnis Berkedok Kemanusiaan
Mengusir warga Palestina dengan alasan "kemanusiaan" demi mencapai tujuan politik adalah bentuk pembersihan etnis. Ini adalah strategi yang memanfaatkan penderitaan warga sipil akibat agresi Israel—yang dilakukan dengan senjata Amerika—untuk menghapus keberadaan rakyat Palestina. Konsep ini mirip dengan cara Amerika Serikat sendiri dibangun, yaitu dengan membantai sekitar 50 juta penduduk asli Amerika (Indian) untuk merebut tanah mereka.
2. Menolak Eksistensi Palestina
Kebijakan ini selaras dengan ideologi ekstremis Zionis yang menolak mengakui keberadaan bangsa Palestina. Pemerintahan sayap kanan Israel yang dipimpin Netanyahu secara terang-terangan menolak negara Palestina, berupaya mencaplok Tepi Barat, meng-Yahudikan Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, serta menduduki Gaza dengan kekuatan militer untuk mengusir penduduknya—semua ini adalah strategi mengakhiri perjuangan Palestina.
3. Kebijakan Resmi Israel
Ini bukan hanya kebijakan pemerintah sayap kanan ekstrem di Israel, tetapi juga kebijakan resmi negara Israel. Pada tahun 2018, parlemen Israel (Knesset) mengesahkan Undang-Undang Dasar *"Negara Yahudi"*, yang menganggap warga Palestina sebagai minoritas tanpa hak menentukan nasib sendiri, sekaligus memperkuat pemukiman ilegal di Tepi Barat sebagai nilai nasional.
4. Membebaskan Israel dari Tanggung Jawab
Usulan AS untuk mengusir warga Palestina juga berarti membebaskan Israel dan pemerintahan Netanyahu dari tanggung jawab atas penghancuran 80% Jalur Gaza serta kematian dan luka-luka sekitar 160 ribu warga Palestina. Bahkan, ide ini dapat mendorong Israel untuk mengulang skenario yang sama di Tepi Barat dengan mengusir 2,5 juta warga Palestina ke Yordania guna membuka jalan bagi proyek pemukiman ilegal.
Peluang Keberhasilan Skema Pengusiran
Meskipun ada ancaman besar, terdapat beberapa faktor yang menghambat keberhasilan skema ini:
1. Penolakan Keras dari Perlawanan Palestina
Semua kelompok perlawanan Palestina dengan tegas menolak gagasan pengusiran. Bagi mereka, meninggalkan tanah air berarti mengakhiri perjuangan Palestina. Sejarah menunjukkan bahwa sekali seorang Palestina diusir, ia tidak akan bisa kembali karena wilayahnya akan segera diambil alih oleh pemukim Israel. Ini akan membuka jalan bagi Israel untuk mencaplok Tepi Barat, menduduki Gaza, dan menguasai Yerusalem serta Masjid Al-Aqsa.
2. Gelombang Kembalinya Pengungsi Palestina ke Gaza
Pada 27 Januari 2025, saat gencatan senjata mulai berlaku, ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi dari bagian selatan dan tengah Gaza kembali ke Kota Gaza dan wilayah utara. Ini adalah respons langsung terhadap ajakan Trump. Warga Palestina lebih memilih bertahan di tenda di atas reruntuhan daripada meninggalkan tanah air mereka.
3. Ancaman terhadap Keamanan Nasional Mesir dan Yordania
Mengusir warga Palestina ke Mesir dan Yordania akan menjadi ancaman langsung bagi keamanan nasional kedua negara. Israel ingin memindahkan konflik dari tanah Palestina ke wilayah Mesir dan Yordania, sehingga mereka terbebas dari "masalah demografi Palestina," yang merupakan tantangan terbesar bagi eksistensi Israel sebagai negara Zionis.
Israel juga
berusaha membangun narasi bahwa Yordania adalah "tanah air
alternatif" bagi warga Palestina, sesuatu yang telah ditolak oleh rakyat
Palestina dan Yordania sepanjang sejarah.
4. Penolakan Resmi dari Mesir dan Yordania
Menteri Luar Negeri
Yordania, Ayman Safadi, serta Kementerian Luar Negeri Mesir telah secara resmi
menolak rencana Trump. Presiden Abdel Fattah El-Sisi menyatakan bahwa Mesir
tidak akan ikut serta dalam "ketidakadilan" ini. Ia menegaskan bahwa
pengusiran warga Palestina akan berdampak buruk pada keamanan nasional Mesir
dan dunia Arab.
Menolak Pengusiran: Kepentingan Palestina dan Dunia Arab
Menolak pengusiran warga Palestina bukan hanya kepentingan nasional Palestina, tetapi juga kepentingan strategis dunia Arab. Ini adalah upaya untuk:
- Melindungi perjuangan Palestina dan hak mereka untuk
mendirikan negara merdeka
- Menjaga keamanan nasional Mesir, Yordania, dan dunia Arab
- Mencegah ambisi ekspansionis Israel yang ingin memperluas wilayahnya hingga Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir
Dalam konteks ini, peran negara-negara Arab, terutama Mesir dan Yordania, menjadi semakin penting. Mereka harus mengambil langkah nyata untuk:
- Menjamin pelaksanaan gencatan senjata di Gaza
- Memasukkan bantuan kemanusiaan secara cepat dan efektif
- Menginisiasi KTT Arab dan Islam guna membahas rekonstruksi
Gaza
Langkah-langkah ini akan memperkuat eksistensi Palestina di tanah air mereka, serta menghilangkan alasan bagi Netanyahu, kelompok sayap kanan ekstrem Israel, dan Trump yang menggunakan dalih kemanusiaan untuk melegitimasi pengusiran. Pada kenyataannya, ini bukanlah masalah kemanusiaan, tetapi agenda politik untuk memungkinkan Israel mencaplok Tepi Barat, menduduki Gaza, dan menguasai Yerusalem serta Masjid Al-Aqsa.
Sumber: Al Jazeera, 2 Februari 2025
Posting Komentar