Mesir dan Qatar Bekerja "Secara Intensif" untuk Menyelamatkan Gencatan Senjata di Gaza

Table of Contents

Seorang anak Palestina yang terluka terbaring di rumah sakit Al-Arish di Sinai Utara, Mesir, setelah memasuki wilayah tersebut dari Gaza setelah berlakunya gencatan senjata. (Sumber: EPA)

Kairo-12 Februari 2025 M / 13 Sya'ban 1446 H

Seorang sumber Palestina pada hari Rabu (12/2) mengungkapkan bahwa para mediator dari Qatar dan Mesir “bekerja secara intensif” untuk mengatasi krisis seputar kesepakatan gencatan senjata di Gaza. Hal ini terjadi setelah Israel mengancam akan melanjutkan serangan militer jika Hamas tidak membebaskan sandera yang telah disepakati pada hari Sabtu mendatang.

Sumber tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena tidak berwenang memberikan pernyataan, mengatakan kepada AFP (Agence France-Presse) bahwa "para mediator terus berkomunikasi dengan pihak Amerika... dan bekerja secara intensif untuk menyelesaikan krisis ini serta menekan Israel agar mematuhi protokol kemanusiaan dalam perjanjian gencatan senjata dan memulai negosiasi tahap kedua.”

Dalam beberapa hari terakhir, gencatan senjata tampaknya semakin terancam. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada hari Selasa (11/2) memperingatkan bahwa militernya akan melanjutkan perang jika Hamas tidak membebaskan para sandera sebelum Sabtu siang.

Dalam sebuah pernyataan, Netanyahu menegaskan: “Jika Hamas tidak mengembalikan sandera kami sebelum Sabtu siang, maka gencatan senjata akan berakhir, dan tentara akan melanjutkan serangan besar-besaran hingga Hamas dikalahkan secara total.”

Ancaman Netanyahu sejalan dengan pernyataan mantan Presiden AS, Donald Trump, yang juga mengancam akan "membuka gerbang neraka" jika Hamas tidak segera membebaskan “semua” sandera Israel pada hari Sabtu.

Sebelumnya, Hamas telah menyatakan bahwa mereka tidak akan membebaskan sandera sebelum Israel menghentikan "gangguan terhadap perjanjian", kembali mematuhi kesepakatan, serta mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan.

Pada hari Rabu (12/2), Salama Maarouf, Kepala Kantor Informasi Pemerintah Hamas di Gaza, mengungkapkan bahwa telah terjadi "lebih dari 270 pelanggaran dan kejahatan baru yang dilakukan oleh tentara pendudukan Zionis sejak gencatan senjata mulai berlaku.”

Ia menambahkan bahwa "pelanggaran terbesar meliputi penembakan terhadap warga sipil, menewaskan 93 orang, melukai puluhan lainnya, serta kegagalan mematuhi protokol kemanusiaan."

Seorang sumber dekat dengan Hamas, yang tidak ingin disebutkan namanya, juga mengonfirmasi kepada AFP bahwa “situasi masih sulit dan semakin kompleks seiring berlanjutnya gangguan dari Israel... Kegagalan Israel dalam memulai negosiasi tahap kedua menunjukkan niat mereka untuk merusak perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan agresi karena tidak ada yang menahan mereka.”

Setelah berbulan-bulan kebuntuan, Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat akhirnya berhasil menjadi mediator dalam perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari 2025.

Perjanjian ini mencakup tahap pertama selama 16 hari, yang seharusnya dilanjutkan dengan negosiasi tidak langsung untuk tahap kedua. Namun, hingga kini, negosiasi tersebut belum dimulai.

Sejauh ini, Hamas telah membebaskan 16 sandera Israel dalam lima kali pertukaran, sementara Israel telah membebaskan ratusan tahanan Palestina. Pertukaran sandera tahap keenam dijadwalkan berlangsung pada hari Sabtu.

Sumber:Asharq Al-Awsat

Posting Komentar